Jumat, 05 Juni 2009

R.5 JUNI

Menanam Kebaikan

Di sebuah propinsi di China ada seseorang yang dikenal sebagai orang suci. Seluruh penduduk desa di propinsi itu sudah mendengar perihal orang suci tersebut. Dia tinggal di sebuah rumah kecil di puncak gunung. Gunung itu sangat terjal dan licin, sehingga sulit dicapai.
Suatu hari seorang pemuda dari sebuah desa datang untuk menemui orang suci itu dengan berjalan kaki. Dia memiliki kehendak yang sangat kuat, sehingga dia mampu melakukan perjalanan jauh dan sulit itu. Ketika sampai di rumah orang suci itu, dia melihat seorang pelayan sedang membersihkan rumah.
Lantas ia berkata kepada pelayan itu, “Aku mau bertemu dengan orang suci yang bijaksana itu.”
Pelayan itu hanya membalasnya dengan seutas senyuman lalu meninggalkan pemuda itu. Pemuda itu merasa heran. Tetapi kemudian ia berjalan mengelilingi rumah itu. Dia sangat berharap dapat bertemu dengan orang suci itu. Akhirnya, dia tiba di pintu belakang rumah. Dilihatnya pelayan tadi berada di dalam rumah. Ia berkata kepada pelayan itu, “Saya ingin bertemu dengan orang suci.”
Dengan bijak, pelayan itu berkata, “Kamu sudah bertemu dengannya. Setiap orang yang kamu temui dalam hidupmu, bahkan orang yang tidak terkenal atau tidak baik sekalipun, pandanglah dia sebagai orang suci. Jika Anda melakukannya, setiap masalah yang kamu hadapi akan terselesaikan dengan baik.”
Sering kali orang mengukur kebaikan orang lain dari dirinya sendiri. Yang baik dalam diri kita, kita tempatkan dalam diri orang lain. Akibatnya, kalau tidak sesuai lalu kita akan menilai orang lain itu tidak baik. Baik buruknya seseorang sering kita nilai dari diri kita sendiri. Ini yang namanya tidak obyektif.
Kisah di atas mau menunjukkan kepada kita bahwa kebaikan itu ada dalam diri setiap orang. Ada benih-benih baik yang tertanam dalam diri setiap orang. Kebaikan itu dibawa dalam hidup sehari-hari. Diharapkan bahwa kebaikan itu memancar dari hati setiap orang bagi sesama yang ada di sekitar kita.
Memancarkan kebaikan itu berarti kita memancarkan kasih kepada sesama. Kasih itu merupakan bagian dari diri kita. Sebenarnya yang kita miliki dalam hidup sehari-hari adalah kasih. Kejahatan itu berasal dari si jahat. Bukan dari diri kita. Tuhan telah menanamkan kebaikan itu di dalam diri kita sejak kita diciptakan.
Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti terus-menerus menanamkan kebaikan dalam perjalanan hidup kita. Ketika kita menabur kebaikan, kita akan menuai kebaikan pula. Untuk itu, kita mesti berusaha untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya, agar si jahat tidak dapat menelusup ke dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

Kamis, 04 Juni 2009

R-4 JUNI

Selesaikan Persoalan dengan Hati yang Dingin

Ketika Chung Tzu sedang berjalan-jalan, ada seorang pemuda menghampirinya. Pemuda itu meminta bantuannya untuk mengatasi sifat buruknya. Tanya Chung Tzu, “Apa masalahmu?”
Pemuda itu menjawab, “Guru, aku ini orang yang sangat emosional. Aku cepat marah. Bagaimana caranya menghentikan sifat buruk ini, Guru?”
Chung Tzu berkata lagi kepada pemuda itu, “Tunjukan kemarahanmu itu kepadaku. Mungkin itu akan sangat menarik.”
Pemuda itu menjawab, “Aku sedang tidak marah saat ini. Jadi aku tidak bisa menunjukkannya kepadamu.”
Kata Chung Tzu, “Baiklah. Bawalah saja padaku, kalau suatu saat nanti kamu sedang marah.”
Pemuda itu mulai mengeluh kepada gurunya, “Tetapi aku tidak bisa membawanya kepadamu. Tentulah kemarahanku itu hilang, ketika kubawa kepadamu.”
Dengan bijak, Chung Tzu berkata lagi, “Jika demikian, menurutku, kemarahan itu bukanlah bagian dari dirimu. Maka jika bukan merupakan bagian dari dirimu, pastilah sifat burukmu itu datang dari luar. Jadi jika suatu saat nanti kamu marah lagi, pukullah dirimu sendiri dengan tongkat hingga rasa marah itu hilang. Dengan demikian sifat burukmu juga akan hilang.”
Sering kita mengeluh tentang persoalan yang sebenarnya tidak ada dalam diri kita. Kita begitu dalam memperhatikannya. Seolah-olah hal itu begitu penting. Seolah-olah hal itu yang sangat mendominasi hidup kita. Akibatnya, kita menjadi panik. Bisa-bisa menjadi stress, karena terlalu memikirkan hal itu. Siapa yang kemudian akan menderita? Kita sendiri.
Karena itu, kita mesti membedakan antara persoalan yang berasal dari dalam diri kita sendiri dan persoalan yang berasal dari luar diri kita. Kita mesti secara kritis menilai persoalan-persoalan itu. Lalu kita susun strategi-strategi untuk mengatasinya. Kita cari akar persoalan yang datang dari luar diri kita. Lalu segera kita selesaikan dengan hati yang dingin.
Lantas persoalan yang berasal dari dalam diri kita pun kita usahakan untuk diselesaikan dengan baik. Mungkin kita butuh bantuan orang-orang lain untuk melihat secara jeli persoalan yang sedang kita hadapi. Untuk itu, dibutuhkan suatu kerendahan hati. Kita mesti membuka hati kita lebar-lebar, sehingga persoalan yang ada dalam diri kita dapat diselesaikan dengan baik.
Sebagai orang beriman, kita ingin menyelesaikan persoalan-persoalan hidup kita bersama Tuhan. Kita ingin melibatkan Tuhan dalam suka dan duka hidup kita. Tuhan akan membantu, kalau kita berani membuka diri kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

R-3 JUNI

Sebarluaskan Cinta Kasih

Dalam suatu acara reuni keluarga, seorang anak kagum akan semangat bapaknya. Dengan antusias dan bangga, ayahnya menceriterakan seluruh perjuangan dan pengalaman hidupnya. Ia berbagi keprihatinan, tantangan dan kesulitan yang telah berhasil ia lewati dan atasi. Kini seluruh anggota keluarga mengecap kebahagiaan hidup berkat pengorbanan sang ayah. Keteguhan dan kesetiaan beliau mengatasi badai kesulitan dan keprihatinan.
Kata anak itu, “Sekarang kami menuai gelombang kasih dari orangtua. Bapak bangga dapat mengungkapkan kegigihan usaha, perjuangan dan pengorbanan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Ia sudah mewariskan nilai kehidupan dan mempersatukan anak-anak dan cucu-cucunya. Ia sungguh berusaha memberikan kebahagiaan hidup kepada mereka. Melalui peristiwa reuni keluarga, semua dapat berkumpul bersama. Hal ini ternyata semakin mempererat persaudaraan kami. Semua anggota keluarga dapat memahami jerih payah orangtua dalam upaya memberikan kebahagiaan kepada anak dan cucu pada masa berikutnya. Kami semakin mengenal cinta mereka yang murni. Kami menghargai usaha dan pengorbanan mereka yang sungguh istimewa, mengagumkan sekaligus membanggakan ini.”
Setiap orangtua selalu berusaha memberikan kebahagiaan hidup kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Cita-cita memberikan kebahagiaan kepada keturunan mereka itu mereka wujudkan dan ungkapkan dalam bentuk yang nyata. Mereka mau berkorban, menderita asal anak cucu mereka bisa hidup lebih baik, bersatu dan bahagia.
Karena itu, mereka berjuang dengan penuh sukacita kendati menemukan keprihatinan, tantangan dan kesulitan. Kesulitan dan penderitaan itu tidak mereka rasakan sebagai beban hidup. Sebaliknya, mereka merasakan sukacita dan kebahagiaan. Cinta akan anak-anak membuat orangtua mampu mengatasi penderitaan, bahkan mereka merasa bahagia dalam kesulitan dan perjuangan itu.
Ini yang namanya berbagi cinta. Cinta itu disebarluaskan. Cinta itu mesti menjadi seperti virus yang menyebar ke mana-mana. Dengan demikian, semakin banyak orang mengalami cinta itu.
Dalam hidup ini, setiap orang ingin berbagi cinta. Tuhan sendiri telah memberikan cintaNya yang begitu besar kepada kita. Cinta Tuhan itu tampak dengan menciptkan manusia, memeliharanya dan mengarahkan manusia kepada kebaikan.
Untuk itu, tugas seorang beriman adalah menyebarluaskan cinta itu kepada setiap orang yang ia jumpai dalam hidup ini. Ia mesti merasa bangga bahwa ia mampu membagikan cintanya kepada semua orang. Ini yang namanya cinta universal. Cinta yang tidak memandang siapa yang dicintai. Cinta yang ditujukan kepada semua orang, karena Tuhan mencintai semua orang. Mari kita sebarluaskan cinta dengan setulus hati, agar setiap orang mengalami cinta Tuhan dalam hidupnya. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

R-2 JUNI

Cinta yang Mengubah Hidup Manusia

Pepatah mengatakan, cinta bisa mengalahkan segalanya. Hal tersebut sepertinya dihayati benar oleh Antonio Cassano yang mengaku dirinya kini telah berubah dan tak lagi bengal, gara-gara cinta.
Terkenal sebagai salah satu pesepakbola paling bengal di Italia, Cassano menunjukkan prilaku di luar dugaan banyak orang selama Piala Eropa lalu. Nyaris tak terdengar berita negatif seputar tindak-tanduk striker Sampdoria itu selama di Austria-Swiss.
Soal sikap santun yang belakangan ditunjukkan, Cassano mengaku dirinya sudah berubah. Kalau dulu sanksi dari klub dan hukuman berupa denda tak membuatnya jera, kunci untuk menjinakkan Cassano ternyata ada pada Carolina Marcialis, wanita yang dipacarinya dalam beberapa bulan terakhir.
Tentang hal ini, ia berkata, “Carolina Marcialis telah mengubah hidup saya. Saya mencintai malaikat ini. Karena dialah saya tak lagi bersikap seperti yang sudah-sudah karena saya tak ingin mengecewakan dia.”
Pada awalnya kisah cinta dua insan ini sempat mengalami hambatan. Karena status Cassano yang cuma pinjaman dari Real Madrid, kepulangan sang pemain ke Spanyol akan membuat hubungan mereka kandas.
Ia berkata, “Saya sangat bahagia. Jika saya tidak bertahan di Genoa saya pikir kisah cinta ini bisa bertahan, saya katakan ini dengan sangat hormat pada Carolina. Saya sangat takut kalau saya harus kembali ke Madrid, jadi saya menunggu mencoba menikmatinya. Sekarang saya dipastikan bertahan, saya tak bisa berbicara tentang wanita lain di kehidupan saya.”
Cinta itu kuat laksana air yang deras yang menguasai hidup manusia. Orang yang mengandalkan cinta di atas segala-galanya akan dikuasai oleh cinta itu. Namun yang dibutuhkan adalah cinta yang tulus dan murni. Bukan cinta yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri.
Cinta yang murni itu biasanya cinta yang menumbuhkan harapan. Orang memiliki harapan yang besar untuk senantiasa bertahan dalam cinta yang murni itu. Orang juga memiliki kepastian dalam hidup ini, karena orang yang dicintai itu tidak bermain-main dengann cinta.
Cinta yang murni itu biasanya membahagiakan. Orang mengalami kebahagiaan dalam hidupnya, karena ia mendapatkan cinta dari sesamanya. Tetapi kebahagiaan itu terjadi dalam hidup seseorang, karena ia juga mampu mencintai sesamanya dengan cinta yang tulus pula.
Kisah Antonio Casano menjadi contoh bagi kita bahwa cinta itu mesti dapat mengubah hidup manusia. Cinta yang tulus dan murni itu membawa perubahan dalam hidup manusia dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu, orang beriman mesti selalu membuka hatinya kepada Tuhan untuk diisi oleh rahmat dan cinta Tuhan. Mari kita bertumbuh dalam cinta yang murni, agar hidup kita dapat berubah ke arah yang lebih baik. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

Renungan 1

Mendidik Hati Nurani

Suatu hari seorang anak membuang sampah di halaman rumah tetangganya. Sampah itu berupa kotoran sapi yang sangat banyak. Hal tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap bagi tetangganya itu. Melihat hal itu, pemilik rumah itu sangat marah. Lantas ia menegur anak itu.

Namun anak itu tidak mau mendengarkan teguran itu. Ia bahkan berbalik marah terhadap pemilik rumah itu. Ia merasa diri tidak bersalah. Ia merasa benar. Terjadilah pertengkaran di antara mereka. Pemilik rumah itu merasa heran, mengapa anak itu merasa tidak bersalah. Padahal ia melakukan sesuatu yang tidak senonoh terhadap orang lain. Sampah, apalagi kotoran sapi, itu mesti dibuang pada tempatnya.

Melihat kondisi itu, pemilik rumah itu mengalah. Ia tidak mau bertengkar dengan orang yang tidak tahu sopan santun. Beberapa saat kemudian, anak itu pulang ke rumah dan melaporkan kejadian itu kepada kakaknya. Tanpa pikir panjang, kakaknya mendatangi tetangganya itu dengan sebuah golok. Tidak banyak bicara, ia langsung menghujamkan goloknya ke pemilik rumah itu. Untung, sang istri langsung menangkap golok itu. Kalau tidak, kepala suaminya yang kena bacok. Akibatnya, telapak tangannya hampir putus.

Sang kakak itu tidak merasa bersalah atas perbuatan kejinya. Pemilik rumah itu tidak mau menerima kejadian itu. Ia menuntut kakak dari anak itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Setelah berrembug dengan alot, akhirnya, jalan damai dilakukan. Kakak dari anak itu mesti mengganti semua pengobatan atas luka yang diderita oleh istri pemilik rumah itu. Ia menyesali perbuatannya. Namun nasi telah menjadi bubur.

Kisah ini mau mengatakan kepada kita bahwa hati nurani manusia mulai mati terhadap sesama. Dalam kehidupan bersama semestinya orang saling menghargai dan menghormati. Apalagi dalam hidup bertetangga. Tetangga yang baik itu sebenarnya jauh lebih dekat daripada keluarga besar yang tinggal jauh dari kita. Tetangga yang saling peduli merupakan harta yang lebih berharga daripada harta benda yang kita miliki.

Karena itu, dibutuhkan suatu pendidikan hati nurani. Hati nurani yang baik dan bersih akan membantu manusia dalam membangun relasi dengan sesamanya. Orang yang memiliki hati nurani yang baik itu memberi kesempatan bagi sesamanya untuk selalu bertumbuh dan berkembang. Ia tidak akan merusak hubungan yang baik dengan sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar relasi kita dengan sesama terjalin dengan baik dan harmonis. Untuk itu, kita mesti mendidik hati nurani kita untuk peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi sahabat bagi sesama kita. Kita dapat menjadi orang-orang yang membawa sukacita bagi sesama di sekitar kita. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ